Emas di Tumpang Pitu
Oleh Siti Maemunah
“Menurut perusahaan, Sianida akan netral jika bertemu air laut, karena Sianida bersifat
asam, sementara air laut bersifat basa. Ia tak akan berbahaya lagi,” ungkap Ari Untoro
dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Jatim, pada sebuah Talkshow di
radio Fajar FM Banyuwangi. Sianida adalah bahan kimia berbahaya. Seukuran biji beras
saja, ia bisa berakibat fatal bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air - bisa
fatal bagi ikan.
***
“Kami sudah bilang mbak, sama kepala desa, kami tidak mau bertemu dengan
perusahaan”, kata Sugeng di telpon malam itu. Sugeng adalah nelayan Pancer, sebuah
dusun kecil dibawah kawasan hutan lindung Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi –
kabupaten paling timur Pulau Jawa.
Sugeng memberitahu, rencana pertemuan warga membicarakan tambang emas di
Tumpang Pitu, kawasan pegunungan – ratusan meter diatas kampungnya. Suaranya
terdengar gusar.
Majelis Wilayah Cabang Nahdatul Ulama - sebuah ormas keagamaan, akan
memfasilitasi pertemuan antara perusahaan dengan warga. Padahal - menurut Sugeng,
warga sudah sepakat, tak mau ada pertambangan emas di kawasan itu. Oleh karenanya,
mereka tak mau lagi ada pertemuan sosialisasi dan sejenisnya.
Tapi pertemuan tanggal 5 maret itu, ternyata tetap dilakukan. “Kami akhirnya
memutuskan datang. Kami duduki semua kursi yang disediakan panitia. Ada sekitar 500
kursi. Setelah itu, kami membacakan pernyataan penolakan bersama terhadap
pertambangan emas itu. Dan segera pulang selesai membacakannya,” lanjut Sugeng.
Itu telpon Sugeng awal bulan lalu. Tiga minggu kemudian saya pergi ke Jember. Kota ini,
hanya dua jam dari Banyuwangi. Disini, saya bertemu Lukman, salah seorang
mahasiswa S2 Universitas Jember. Ia baru mengunjungi Sungeng di rumahnya. Dari
Lukman, saya tahu banyak tentang Pancer dan rencana tambang itu.
Pancer adalah dusun kecil di desa Sumber Agung Pesanggaran. Sebagian besar
warganya hidup sebagai nelayan, hanya sebagian kecil yang menjadi petani. Nelayan
bergantung kepada perairan laut teluk Pancer. Sementara sumber pengairan sawah-sawah
dusun Pancer bergantung pada sungai Gonggo, yang hulu sungainya ada di Gunung
Tumpang Pitu.
Teluk Pancer juga kaya ikan. Dari nelayan penangkap ikan, sedikitnya setengah ton ikan
berhasil dikumpulkan para pengepul tiap harinya. Ada tiga pengepul ikan disana. Ikan-ikan itu kemudian di bawa ke Muncar – pelabuhan lelang ikan terbesar di Indonesia.
Sebagian wilayah Banyuwangi dikelilingi laut. Tak hanya kaya ikan, kawasan lautnya
juga indah dan banyak dikunjungi wisatawan.
Menurut Sugeng dan nelayan lainnya, arus laut perairan Pancer memiliki dua arah. Satu
ke timur, lainnya ke barat. Kearah barat, arus laut menuju laut Puger Jember hingga
pulau Sempu dan Sendang biru malang. Sementara ke arah timur menuju Rajegwesi,
Grajagan dan Muncar.
“Setelah Tsunami tahun 1994 perekonomian warga Pancer pulih. Bisa dibilang,
perekonomian mereka cukup baik. Handphone sudah menjadi alat komunikasi umum
disana, penghasilan harian nelayan mencapai Rp. 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Hampir
tiap rumah memiliki televisi, juga toilet sendiri”, kata Lukman.
Hanya dari Pancer. Tiap tahunnya, pemerintah daerah mendapatkan pemasukan retribusi
sekitar Rp 35 juta.
Itu kabar baiknya, tapi ada juga kabar buruknya, tambah Lukman. Pagi itu, kami sedang
cangkru’an di warung kopi dengan Campus Centre Universitas Jember. Cangkru’an
istilah gaul untuk nongkrong, biasa dipakai di Jawa Timur.
Kabar buruknya adalah rencana tambang emas di kawasan tumpang Pitu, pas diatas
dusun Pancer. Nama perusahaannya PT Indo Multi Niaga (PT IMN). Ia sedang
mengajukan permohonan alih fungsi kawasan hutan lindung dalam KPH Banyuwangi
Selatan. Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 dan 78.
Blok yang akan ditambang, luasnya 11.621 ha. Kabarnya, tiap 1 ton batuan mengandung
2,3 gram emas. Artinya, ada 999,9 ribu gram batuan yang akan dibuang menjadi limbah.
Baik limbah batuan ataupun berbentuk lumpur tailing.
Tak jelas berapa emas yang dikandung Tumpang Pitu. Tapi Sugeng dan warga Pancer
membutuhkan penjelasan lain. Kemana limbah tambang emas akan dibuang?
Pertanyaan itu terjawab pada sebuah talkshow radio di Fajar FM Banyuwangi – tanggal
19 Maret lalu. Topiknya, “Kenapa Sikap Bupati mengambang terhadap Rencana
tambang”. Disitu, ada Lukman – mewakili Walhi Jatim dan Bapak Abdul Kadir – kepala
Humas Pemkab Banyuwangi. Keduanya diminta menjadi narasumber.
Perusahaan sedang menyusun AMDAL. Rencananya mereka akan membuang limbah
tailingnya ke Teluk Pancer. Pilihan lainnya, limbah akan dibuang ke darat. Pilihan kedua,
akan meenggunakan sekitar 250 ha lahan pertanian warga. akan menjadi kawasan
buangan limbah tailing. Itu inti informasi yang disampaikan oleh sang Humas.
Tapi ada info yang mengejutkan dari talkshow tersebut. Saat sang penyiar meminta juga
komentar dari Ari Untoro dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Timur. Ujarnya, “Menurut perusahaan, mereka menggunakan teknologi ramah lingkungan
karena tak menggunakan Merkuri. Hanya menggunakan Sianida. Sianida akan netral jika
ketemu air laut. Sianida bersifat asam sementara air laut bersifat basa, sehingga ia tak
berbahaya”.
Jika ucapan itu benar, tentunya pemerintah tak perlu membatasi Sianida yang dibuang ke
laut. Toh nanti akan netral. Nyatanya, di Indonesia setiap limbah mengandung logam
berat tak boleh sembarangan dibuang ke perairan, termasuk yang mengandung Sianida.
Ada ambang batas yang harus dipatuhi. Di Argentina, bahkan ada setengah lusin propinsi
melarang penggunaan bahan kimia beracun di pertambangan – termasuk Sianida.
Sianida adalah bahan kimia berbahaya. Seukuran biji beras saja, ia bisa berakibat fatal
bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air - bisa fatal bagi ikan.
Saya jadi ingat kasus Newmont di teluk Buyat Sulawesi utara. Perusahaan asal Amerika
Serikat ini, memakai Sianida untuk memisahkan emas dari batuan. Dan limbah tailingnya
dibuang ke laut teluk Buyat. Ia menggunakan standar peraturan lingkungan yang ada.
Semuanya disebutkan lengkap di dokumen AMDAL.
Dilapang, terbukti AMDAL tak bisa menjamin keselamatan warga sekitar. Sejak limbah
dibuang ke teluk Buyat, ikan-ikan susah ditangkap, penghasilan nelayan menurun drastis.
Ada juga ikan-ikan dasar, yang tumbuh benjolan dekat ekornya. Warga Buyat Pante juga
mengeluhkan berbagai gangguan kesehatan. Mulai gatal-gatal, tumor, kram-kram,
lumpuh dan penyakit lainnya, hingga tambang berhenti beroperasi.
Akhirnya, sebanyak 66 keluarga memutuskan pindah dari teluk Buyat, dua tahun lalu.
Sementara di kampung Buyat – tetangga mereka, sekarang kabarnya makin banyak orang
menderita sakit. Angka kematian tinggi – tak seperti biasanya. Hasil penelitian
Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan, sumur-sumur warga disana tercemar
logam berat Arsen.
“Apa benar limbah yang mengandung Sianida akan netral dan tak berbahaya jika dibuang
ke laut mbak?,” tanya sugeng, pada kali berikut ia menelpon.
Ini DeJavu. Bagai mengulang cerita sama. Warga Buyat pernah bertutur dulu, diawal
masuknya tambang, Newmont juga memberikan info serupa: limbah tailing tidak
berbahaya. Sianida akan netral jika bertemu dengan air laut.
Oleh Siti Maemunah
“Menurut perusahaan, Sianida akan netral jika bertemu air laut, karena Sianida bersifat
asam, sementara air laut bersifat basa. Ia tak akan berbahaya lagi,” ungkap Ari Untoro
dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Propinsi Jatim, pada sebuah Talkshow di
radio Fajar FM Banyuwangi. Sianida adalah bahan kimia berbahaya. Seukuran biji beras
saja, ia bisa berakibat fatal bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air - bisa
fatal bagi ikan.
***
“Kami sudah bilang mbak, sama kepala desa, kami tidak mau bertemu dengan
perusahaan”, kata Sugeng di telpon malam itu. Sugeng adalah nelayan Pancer, sebuah
dusun kecil dibawah kawasan hutan lindung Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi –
kabupaten paling timur Pulau Jawa.
Sugeng memberitahu, rencana pertemuan warga membicarakan tambang emas di
Tumpang Pitu, kawasan pegunungan – ratusan meter diatas kampungnya. Suaranya
terdengar gusar.
Majelis Wilayah Cabang Nahdatul Ulama - sebuah ormas keagamaan, akan
memfasilitasi pertemuan antara perusahaan dengan warga. Padahal - menurut Sugeng,
warga sudah sepakat, tak mau ada pertambangan emas di kawasan itu. Oleh karenanya,
mereka tak mau lagi ada pertemuan sosialisasi dan sejenisnya.
Tapi pertemuan tanggal 5 maret itu, ternyata tetap dilakukan. “Kami akhirnya
memutuskan datang. Kami duduki semua kursi yang disediakan panitia. Ada sekitar 500
kursi. Setelah itu, kami membacakan pernyataan penolakan bersama terhadap
pertambangan emas itu. Dan segera pulang selesai membacakannya,” lanjut Sugeng.
Itu telpon Sugeng awal bulan lalu. Tiga minggu kemudian saya pergi ke Jember. Kota ini,
hanya dua jam dari Banyuwangi. Disini, saya bertemu Lukman, salah seorang
mahasiswa S2 Universitas Jember. Ia baru mengunjungi Sungeng di rumahnya. Dari
Lukman, saya tahu banyak tentang Pancer dan rencana tambang itu.
Pancer adalah dusun kecil di desa Sumber Agung Pesanggaran. Sebagian besar
warganya hidup sebagai nelayan, hanya sebagian kecil yang menjadi petani. Nelayan
bergantung kepada perairan laut teluk Pancer. Sementara sumber pengairan sawah-sawah
dusun Pancer bergantung pada sungai Gonggo, yang hulu sungainya ada di Gunung
Tumpang Pitu.
Teluk Pancer juga kaya ikan. Dari nelayan penangkap ikan, sedikitnya setengah ton ikan
berhasil dikumpulkan para pengepul tiap harinya. Ada tiga pengepul ikan disana. Ikan-ikan itu kemudian di bawa ke Muncar – pelabuhan lelang ikan terbesar di Indonesia.
Sebagian wilayah Banyuwangi dikelilingi laut. Tak hanya kaya ikan, kawasan lautnya
juga indah dan banyak dikunjungi wisatawan.
Menurut Sugeng dan nelayan lainnya, arus laut perairan Pancer memiliki dua arah. Satu
ke timur, lainnya ke barat. Kearah barat, arus laut menuju laut Puger Jember hingga
pulau Sempu dan Sendang biru malang. Sementara ke arah timur menuju Rajegwesi,
Grajagan dan Muncar.
“Setelah Tsunami tahun 1994 perekonomian warga Pancer pulih. Bisa dibilang,
perekonomian mereka cukup baik. Handphone sudah menjadi alat komunikasi umum
disana, penghasilan harian nelayan mencapai Rp. 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Hampir
tiap rumah memiliki televisi, juga toilet sendiri”, kata Lukman.
Hanya dari Pancer. Tiap tahunnya, pemerintah daerah mendapatkan pemasukan retribusi
sekitar Rp 35 juta.
Itu kabar baiknya, tapi ada juga kabar buruknya, tambah Lukman. Pagi itu, kami sedang
cangkru’an di warung kopi dengan Campus Centre Universitas Jember. Cangkru’an
istilah gaul untuk nongkrong, biasa dipakai di Jawa Timur.
Kabar buruknya adalah rencana tambang emas di kawasan tumpang Pitu, pas diatas
dusun Pancer. Nama perusahaannya PT Indo Multi Niaga (PT IMN). Ia sedang
mengajukan permohonan alih fungsi kawasan hutan lindung dalam KPH Banyuwangi
Selatan. Tepatnya pada Petak 75, 76, 77 dan 78.
Blok yang akan ditambang, luasnya 11.621 ha. Kabarnya, tiap 1 ton batuan mengandung
2,3 gram emas. Artinya, ada 999,9 ribu gram batuan yang akan dibuang menjadi limbah.
Baik limbah batuan ataupun berbentuk lumpur tailing.
Tak jelas berapa emas yang dikandung Tumpang Pitu. Tapi Sugeng dan warga Pancer
membutuhkan penjelasan lain. Kemana limbah tambang emas akan dibuang?
Pertanyaan itu terjawab pada sebuah talkshow radio di Fajar FM Banyuwangi – tanggal
19 Maret lalu. Topiknya, “Kenapa Sikap Bupati mengambang terhadap Rencana
tambang”. Disitu, ada Lukman – mewakili Walhi Jatim dan Bapak Abdul Kadir – kepala
Humas Pemkab Banyuwangi. Keduanya diminta menjadi narasumber.
Perusahaan sedang menyusun AMDAL. Rencananya mereka akan membuang limbah
tailingnya ke Teluk Pancer. Pilihan lainnya, limbah akan dibuang ke darat. Pilihan kedua,
akan meenggunakan sekitar 250 ha lahan pertanian warga. akan menjadi kawasan
buangan limbah tailing. Itu inti informasi yang disampaikan oleh sang Humas.
Tapi ada info yang mengejutkan dari talkshow tersebut. Saat sang penyiar meminta juga
komentar dari Ari Untoro dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa Timur. Ujarnya, “Menurut perusahaan, mereka menggunakan teknologi ramah lingkungan
karena tak menggunakan Merkuri. Hanya menggunakan Sianida. Sianida akan netral jika
ketemu air laut. Sianida bersifat asam sementara air laut bersifat basa, sehingga ia tak
berbahaya”.
Jika ucapan itu benar, tentunya pemerintah tak perlu membatasi Sianida yang dibuang ke
laut. Toh nanti akan netral. Nyatanya, di Indonesia setiap limbah mengandung logam
berat tak boleh sembarangan dibuang ke perairan, termasuk yang mengandung Sianida.
Ada ambang batas yang harus dipatuhi. Di Argentina, bahkan ada setengah lusin propinsi
melarang penggunaan bahan kimia beracun di pertambangan – termasuk Sianida.
Sianida adalah bahan kimia berbahaya. Seukuran biji beras saja, ia bisa berakibat fatal
bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air - bisa fatal bagi ikan.
Saya jadi ingat kasus Newmont di teluk Buyat Sulawesi utara. Perusahaan asal Amerika
Serikat ini, memakai Sianida untuk memisahkan emas dari batuan. Dan limbah tailingnya
dibuang ke laut teluk Buyat. Ia menggunakan standar peraturan lingkungan yang ada.
Semuanya disebutkan lengkap di dokumen AMDAL.
Dilapang, terbukti AMDAL tak bisa menjamin keselamatan warga sekitar. Sejak limbah
dibuang ke teluk Buyat, ikan-ikan susah ditangkap, penghasilan nelayan menurun drastis.
Ada juga ikan-ikan dasar, yang tumbuh benjolan dekat ekornya. Warga Buyat Pante juga
mengeluhkan berbagai gangguan kesehatan. Mulai gatal-gatal, tumor, kram-kram,
lumpuh dan penyakit lainnya, hingga tambang berhenti beroperasi.
Akhirnya, sebanyak 66 keluarga memutuskan pindah dari teluk Buyat, dua tahun lalu.
Sementara di kampung Buyat – tetangga mereka, sekarang kabarnya makin banyak orang
menderita sakit. Angka kematian tinggi – tak seperti biasanya. Hasil penelitian
Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan, sumur-sumur warga disana tercemar
logam berat Arsen.
“Apa benar limbah yang mengandung Sianida akan netral dan tak berbahaya jika dibuang
ke laut mbak?,” tanya sugeng, pada kali berikut ia menelpon.
Ini DeJavu. Bagai mengulang cerita sama. Warga Buyat pernah bertutur dulu, diawal
masuknya tambang, Newmont juga memberikan info serupa: limbah tailing tidak
berbahaya. Sianida akan netral jika bertemu dengan air laut.
Fri Oct 19, 2012 7:01 am by Tamu
» Dinas Koperasi Banyuwangi Terima Rombongan Studi Banding Propinsi Lampung
Tue Sep 13, 2011 6:44 pm by prasastyfm
» Beri Contoh Terus, DKP Bersihkan Kalilo Dari Sampah
Tue Sep 13, 2011 6:39 pm by prasastyfm
» Lowongan Kerja Guru dan KepSek PT. Gracia Trimitra Manunggal
Tue Sep 13, 2011 12:29 am by Admin
» Mp3 Remix 2011 Radio New Prasasty Fm Banyuwangi
Mon Sep 12, 2011 11:51 pm by Tamu
» Info CPNS Dharmasraya 2011 – 2012
Mon Sep 12, 2011 11:35 pm by Tamu
» Mp3 Remix Radio New Prasasty Fm Banyuwangi
Mon Sep 12, 2011 10:45 pm by Admin
» Tren Penumpang Pesawat Blimbingsari Meningkat
Mon Sep 12, 2011 7:44 pm by prasastyfm
» Ayo Dulur Kabeh Rame-rame Jaga Kebersihan
Mon Sep 12, 2011 7:42 pm by prasastyfm